Sembilan tahun lalu, Mustika, 29 tahun, melahirkan anak kembar pria. Keduanya diberi nama Tarlan dan Tarlin. Mereka lahir dengan normal dan sehat. Namun petaka datang, 2 bulan kemudian. Tarlin terserang demam tinggi disertai kejang-kejang. Peristiwa itu terus berlanjut. Tarlin susah minum susu. Hal itu sangat berbeda dengan adiknya Tarlan yang tumbuh dengan sehat.
Mustika dan suaminya yang bekerja sebagai buruh serabutan tak putus asa. Pada 2010, mereka harus bolak-balik ke rumah sakit untuk mengobati Tarlin menjadi rutinitas setiap pekan, bahkan setiap bulan. Bahkan ia harus gonta-ganti rumah sakit dengan alasan tidak cocok dengan dokter yang mengobati anaknya. Namun tanda-tanda kesembuhan tak tampak.
Dokter pernah bilang, anaknya ada masalah dengan asupan gizi sehingga yang harus diperbaiki adalah asupan gizinya dulu, agar pengobatannya bisa lebih baik. Tapi asupan susu selalu keluar dari mulut dan hidung Tarlin setelah beberapa saat minum susu formula. Akibatnya kondisi kesehatan Tarlin semakin memburuk.
Ditambah lagi, kondisi keuangan keluarga semakin menipis. Saat itu belum ada BPJS untuk meng-cover pengobatan Tarlin. “Saya masih pakai uang sendiri yang nilainya cukup besar,” kata Mustika di rumahnya di Kabupaten Cirebon.
Namun Mustika tetap bersyukur, sebab adiknya Tarlan tumbuh dengan sehat dan sekarang duduk di kelas 3 SD. “Dia pintar selalu juara kelas,” kata Mustika. Saat ditanya ke mana Tarlan? ia bilang, kalau sore Tarlan ngaji di Langgar dekat rumah.
Lelah dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk pengobatan Tarlin, Mustika dan suami pun akhirnya membawa pulang Tarlin. Mereka memilih merawat Tarlin di rumah. “Kami nggak sanggup bayar rumah sakit. Waktu itu BPJS belum ada,” ucap Mustika.
Bagaimana kondisi Tarlin selama dirawat di rumah? “Makin parah, paru-parunya kena dan sering muntah dahak,” kata Mustika, matanya menatap langit-langit seolah menahan air matanya agar tak jatuh.
Meski demikian, rasa syukur tak terhingga dirasakan Mustika. Sebab sejak 2014, ia dan keluarganya diberi BPJS APBN yang iurannya dibayar oleh pemerintah. Sejak itu, Tarlin berobat dengan BPJS. Hanya karena kesulitan ongkos jalan ke rumah sakit, ia jarang bawa anaknya berobat.
Kalau bawa Tarlin ke dokter, lanjut Mustika, harus sewa angkot, tidak bisa naik motor. Anaknya sudah cukup besar kalau naik motor bertiga. Hingga usia tarlin 9 tahun, Tarlin belum bisa duduk, apalagi berdiri. Lehernya pun masih lemah untuk ditegakkan.
“Saya berharap ada layanan dokter ke rumah warga yang sakit seperti ini ” harap ibu tiga anak ini. (Enisa)