Jakarta, Perempuan berhijab Colat ini baru saja pulang sekolah, saat Kopmas sudah berada di rumah Singgah Anyo. Masih dengan seragam abu-abu putih, ia menyalami kami sambil tersenyum, lalu pamit untuk berganti baju. Tak lama, ia bergabung untuk berbagi cerita tentang perjuangannya melawan kanker retinosblastoma, atau kanker mata.

Begini cerita yang ia bagi kepada kami:

Aku terkena kanker mata atau retinoblastoma sejak usia 4 tahun. Mata sebelah kanan diserang kanker ganas. Awal aku terserang, saat itu aku sering jatuh, lama-lama intensitas jatuhnya makin sering. Bapak lalu membawaku periksa ke dokter. Dari rumah sakit di daerah Purwakarta tempat aku tinggal aku dirujuk ke RS Cicendo di Bandung.

Dokter di RS Cicendo memvonis mataku untuk dioperasi. Hanya perlu waktu semalam, keluarga berembug hingga akhirnya menyatakan setuju, mata kananku diangkat. Ibu yang sedang bekerja di Arab Saudi, hanya diberi kabar. Pasca operasi, dokter menyarankan untuk kemoterapi. Meski mata sudah diangkat, jaringan sel kanker belum sepenuhnya mati, dan bisa menyerang jaringan tubuh lainnya di sekitar mata.

Karena tersandung masalah biaya, Bapakku yang sopir angkot dan kerja serabutan membawaku pulang ke Purwakarta, istirahat di rumah. Yang ditakutkan dokter benar terjadi. Baru dua bulan pasca operasi, tiba-tiba muncul benjolan kecil di pipi kananku. Benjolan itu hanya dalam hitungan minggu membesar.

Bapak kaget, lalu membawaku ke dokter, awalnya hanya di RS di Purwakarta lalu dirujuk ke RSHS Bandung.  Di sana aku jalani kemoterapi selama 4 tahun. Di tengah jalan, saat proses kemoterapi mau selesai dan  benjolan mengecil, tiba-tiba benjolan di pipi membesar lagi.  Proses kemoterapi di ulang kembali, setiap minggu aku diinfus dan dikemo. Dampak dari pengobatan itu,  urat-uratku mengering, kulit menghitam, rasa sakit  luar biasa, membuat aku putus asa.

 

 

Meski berobat gratis pakai Jamkesmas, tapi uang bolak-balik, uang makan, dan nginep membuat keuangan Bapak  terkuras. Aku menyerah dan berhenti berobat, lalu pulang ke Purwakarta. Di rumah aku hanya istirahat dan  melakukan pengobatan herbal untuk benjolan di pipi. Namun selang dua bulan,  benjolan itu malah makin gede, hampir sebesar kepala sendiri.

Dengan benjolan sebesar kelapa itu, aku nggak bisa makan, nggak bisa nga nga, dan sakitnya luar biasa. Lalu Bapak nyari bantuan ke sana kemari untuk meneruskan pengobatanku. Beruntung waktu itu, ada mahasiswa,  bantu  dengan menggalang dana untukku. Dengan dana hasil penggalangan,  aku  dibawa ke RS Siloam Tangerang.  Namun RS tersebut menyerah, karena tak punya alat, aku dirujuk ke RS di China.

Bukan kepalang kagetnya, karena untuk berobat ke China butuh  dana besar. Dana hasil penggalangan tak cukup, lantas dokter di Siloam menyarankan aku berobat ke RS Kanker  Dharmais Jakarta.

 

Sempat Putus Asa Lagi

Saat dibawa ke Dharmais, usiaku 9 tahun. Dan, kondisi kanker sudah stadium 4. Benjolan sebesar kelapa ini, kata dokter tak mungkin dioperasi. Dampaknya akan terjadi pendarahan luar biasa. Dokter mengambil langkah kemoterapi untuk mengecilkan benjolan.

Selama dua bulan kemoterapi, benjolan mengecil jadi  sebesar kepalan tangan. Aku tentu senang, melihat kemajuan pengobatan ini. Namun saat kemoterapi mau selesai, benjolan yang mengecil itu besar lagi. Aku  putus asa lagi. Aku sampai bilang pada Bapak, udahlah Pak, mati aja aku  nggak apa-apa, capek.

Tapi Bapak terus kasih semangat. Lagi, aku dibawa ke dokter. Dokter sampai bingung, kok kemoterapi nggak mempan? Tapi kalau dilakukan operasi juga nggak mungkin. Lalu ditawarkan opsi  radiasi. Bapak terus kasih semangat, dia bilang, sebentar lagi selesai Neng.

Karena bapak kuat,  masa aku nggak. Kata dokter radiasi 25 kali.  Saat berobat di Dharmais itulah, seorang perawat menyarankan Bapak agar tinggal di rumah Anyo, rumah singgah untuk anak penderita Kanker. Pada 2010, aku rumah Anyo. Di sini, aku dan Bapak nggak repot pulang pergi, dari mulai makan dan nginep gratis di rumah Anyo.

Pengobatan radiasi aku lanjutkan setiap hari. Radiasi itu membuat benjolan sekepalan tangan itu mengecil, sampai akhirnya seperti daun kering menempel di pipi. Nah, saat aku di kampung dan hendak mandi, “Daun kering” yang menempel di pipi tersangkut baju yang hendak aku lepas. Aku kaget, kupegang pipi, ternyata, pipiku rata, dan “Daun kering” tadi terjatuh di kamar mandi. Setelah mandi, aku lapor Bapak.

Bapak senang banget. Lalu ia membawaku kontrol ke dokter.  Di rumah sakit, dokter bilang bagus, tapi dokter juga  bengong kok bisa. Itulah keajaiban yang  kurasakan. Meski dokter telah menyatakan umurku nggak bakal lama, tapi  kok ya nambah. Allah SWT yang paling tahu umur manusia. Manusia hanya bisa berihtiar dan Allah lah yang menentukan segalanya. Setelah itu saya hanya rawat jalan, hingga pada  2015, dokter menyatakan aku sembuh total.

Bola Mata Palsu

Sejak mataku diangkat pada usia 4 tahun. Aku hidup dengan satu mata. Itu dibiarkan sampai aku remaja. Saat kecil, ketika teman-teman mengejek mataku yang hilang satu, aku biasa saja. Namun dengan bertambahnya usia, masa puber datang, rasa malu pun mulai ada, aku sedih mendengar ejekan teman soal mataku yang tinggal sebelah.

Banyak teman teman yang ngejek, kenapa matanya  kosong satu? Berbagai cacian, ejekan, kutelan seperti sarapan. Karena tak tahan dengan ejekan, aku cerita ke Bapak, kok bisa mata aku nggak ada? Bisa nggak mata aku diadain lagi.  Rumah Anyo juga merasakan apa yang aku rasakan, sampai akhirnya mencarikan mata palsu untukku.

Pada usia 16 tahun, aku mendapatkan  mata palsu di sebelah kanan. Rasanya seperti mimpi. Keajaiban kembali datang. Saat aku ngaca, oh rasanya aku senang luar biasa. Bisa dikasih kesempatan punya dua mata lagi, meski mata sebelah kanan tak melihat. Aku bahagia dengan mata palsu ini. Impianku terwujud untuk punya mata lagi.

Terima kasih Anyo, di sini saya menemukan separuh hidupku kembali lagi. Ditambah saat aku memasuki masa SMA, pengurus rumah Anyo menawarkanku sekolah di Jakarta, dengan biaya dari Anyo,  agar pengobatan bisa maksimal.  Anyo telah membuat aku semakin kuat, kuat untuk sembuh, dan kuat untuk mencapai cita-citaku. Alhamdulillah, prestasi di sekolah pun aku selalu rangking 1 sejak kelas 7 SMP hingga sekarang di SMK, selalu dapat rangking 1.

Aku telah melawan ego, kemarahan dan kesedihanku, dengan semangat luar biasa untuk melawan kanker. Aku yakin, setiap penyakit pasti ada obatnya. Dengan penyakit ini aku sedang diuji. Dan, aku yakin Allah SWT  tidak mungkin kasih ujian atau cobaan di luar kemampuan hambanya.

Di rumah Anyo,  aku makin semangat, banyak teman seperjuangan yang saling menguatkan. Berbagi cerita, tentang kanker dan  semangat melawannya. Kalau teman-teman semangat, masa aku nggak. Aku punya banyak kenangan di sini bersama teman-teman, namun  sayangnya teman-teman  ada yang tidak bisa bertahan, karena capek dan  lelah. Hanya doa-doa terbaik yang mampu kupanjatkan untuk kalian di sana. Semoga bahagia dalam dekapan-Nya, kawan.

Selamat Hari Kanker Sedunia, 15 Februari 2019

(Kopmas – Enisa)

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *