Jakarta – Susu Kental Manis (SKM) yang beredar dapat disebut bukan susu. Meski dalam labelnya, kata susu sudah dihilangkan dan diganti menjadi “kental manis”, tapi saran penyajiannya tetap diseduh sebagai minuman. Padahal di luar negeri, SKM hanya sebagai topping untuk makanan dan minuman.

Dr. Damayanti memaparkan penjelasan bahaya susu kental manis bagi anak

Dr. dr. Damayanti Rusi Sjarif Ph.D Syarif, ahli gizi dari Ikatan Dokter Anak Indonesia menyatakan hal tersebut dalam diskusi yang membahas “Peraturan Kepala BPOM No.31 Tahun 2018, kemajuan ataukah kemunduran, polemik susu kental manis” di kantor Lembaga bantuan hukum Jakarta, Jumat, 16 November 2018. Diskusi yang digelar oleh Koalisi Perlindungan Kesehatan Masyarakat (Kopmas) bekerja sama dengan LBH ini diikuti para blogger, komunitas kesehatan, anggota posyandu dan jurnalis.

Damayanti menjelaskan, kenapa SKM bukan susu, ia mencontohkan pada satu sachet SKM ukuran 40gr, tercantum kandungan SKM antara lain; energi 140 kalori; protein 1 gram atau 2%, gula 21 gram. Setelah dihitung, protein energi rasio hanya 2,9% jauh dari yang dibutuhkan anak per hari yakni 6,9% protein.

“SKM tidak dapat diklasifikasikan sebagai susu karena kandungan gulanya tinggi, apa anak disuruh makan gula. Gula yang dikonsumsi berlebihan dalam jangka panjang dapat menyebabkan obesitas dan diabetes. Karenanya, Perka BPOM 31 Tahun 2018 yang mendudukan kriteria SKM ini harus jelas,” kata Damayanti.

Sementara itu, Kasubdit Peningkatan Mutu dan Kecukupan Gizi Direktorat Gizi Kesehatan Masyarakat Kemenkes, Galapang Sianturi menambahkan, Kemenkes juga tidak pernah menyarankan dan menyuruh untuk mengkonsumsi SKM pada bayi dan anak.

“Dalam kategori pangan SKM dikategorikan produk susu, namun kadar gula yang tinggi, membuat produk itu, seperti gula yang ditambah susu. Apalagi SKM diiklankan dengan cara diseduh dijadikan minuman, ini adalah sebuah kejahatan. Karena SKM tidak cocok di konsumsi oleh anak dibawah anak 3 tahun,” kata Galapang.

Pada bagian berikutnya, Pratiwi Pebri menjelaskan bahwa Perka BPOM No. 31 Tahun 2018 menilai bahwa produk SKM adalah produk yang legal. Tapi kesalahannya adalah terjadi penyesatan pada cara produsen beriklan. Dalam iklan yang ditayangkan di televisi maupun media massaselama puluhan tahun itu menyesatkan, karena SKM divisualisasikan sebagai susu yang dapat diminum.

Lantas sanksinya apa? Menurut Pratiwi, sanksi pada pelanggaran ini hanya terdapat di peraturan BPOM No. 23 tahun 2018, berupa sanksi administratif yang diatur di pasal 71. Yakni, penghentian sementara, pencabutan izin, penarikan pangan, tapi tidak ada keterangan siapa yang mengurus dan memiliki hak untuk memberikan sanksi.

“Ini jelas hanya sebagai macan kertas. Karenanya perlu upaya masyarakat untuk mengawal isu ini agar menjadi concern di masyarakat,” ucap Tiwi.

Sementara itu, Direktur Remotivi Roy Thaniago, menyatakan, fungsi iklan memberikan imaji atau citra dan sering mengabaikan faktualitas. Pada SKM, fakta, tidak pernah mencantumkan berapa kandungan secara benar. Apakah SKM benar-benar susu? Ketika SKM berubah menjadi krimmer, pada labelnya tetap memunculkan gambar sapi. Ditambah jinglenya yang memanipulasi kesadaran kita tentang susu sapi. “Produsen bertanggung jawab memberikan informasi yang sesuai tentang produknya, tidak dimanipulasi,” ujarnya.

Hal serupa diungkapkan Ketua Kopmas Arif Hidayat. Menurut dia, persepsi masyarakat dari dua kali riset yang dilakukan di Kendari, Sulawesi Tenggara dan Batam. Hasilnya 92 persen menganggap SKM sebagai susu. “Sumber informasi itu darimana, dari iklan di TV,” ujarnya.

Arif menyatakan, iklan yang beredar puluhan tahun itu telah membuat persepsi ibu-ibu tentang SKM adalah susu. “Kini, kita semua harus bekerja keras dari pemerintah, BPOM, produsen, LSM peduli kesehatan untuk bersama mengkampanyekan bahwa SKM bukan susu dan tidak cocok untuk bayi dan anak batita,” kata Arif. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *