Jakarta – Masalah gizi kurang dan gizi buruk masih menjadi persoalan besar di negeri ini.  Namun persoalan gizi yang mencuat di suatu daerah belum berimbas pada politik. Ditemukannya kasus gizi buruk di suatu daerah belum berimbas pada diturunkannya kepala daerah.

“Malah kepala daerah cenderung menutup kasus itu. Alasannya, masalah gizi buruk menjadi aib bagi daerah tersebut,” kata Ketua Koalisi Perlindungan Kesehatan Masyarakat (Kopmas) Arif Hidayat pada acara diskusi “Zero Gizi Buruk dan Stunting 2045 di Kantor LBH Jakarta, pada Selasa, 29 Januari 2019.

Pada acara diskusi itu, Kopmas juga menggelar pameran foto dan film dokumenter  anak-anak gizi buruk hasil temuan Kopmas di 6 kota,  Pandeglang, Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung, Indramayu, Kabupaten Cirebon, dan Malang, Jawa Timur. Film tersebut juga diputar mengawali diskusi ini.

Temuan Kopmas menemukan sebanyak 12 balita gizi kurang dan gizi buruk di 6 kota tersebut. Data itu hanya gambaran umum, mengenai masih banyaknya kasus gizi buruk yang belum terdata. Nyatanya,  saat data tersebut dikonfirmasi data ke fasilitas kesehatan setempat, nama anak-anak itu tidak terdata.  Oleh karena itu, Kopmas mendorong  agar pemerintah memperkuat pendataan terkait penderita gizi buruk by name, by address.

Data gizi buruk, lanjut  Arif,  harus bisa diakses oleh siapapun. Sehingga semua orang peduli pada persoalan gizi buruk dan pemerintah tak bisa bekerja sendirian, dia harus bersama masyarakat, komunitas, swasta, akademisi dan media untuk bekerja bersama menuntaskan persoalan besar ini,” kata Arif.

Direktur Gizi Masyarakat Kemenkes  Doddy Izwardi mendukung upaya pendataan yang lebih lengkap. Menurut dia, sebenarnya data gizi kurang maupun gizi buruk sudah ada dan lengkap by name dan by address. “Silakan datang ke kantor, kami punya big data, 7 juta data balita kurang gizi dan stunting,” kata dia.

Dia mencontohkan,  data 2018, balita kurang gizi di Aceh Utara, Kalimantan Selatan, Hampir seluruh Sulawesi, NTT, Papua dan Maluku mencapai 20-30%. Sedangkan balita pendek berkisar antara 30 hingga  40% nyaris di seluruh Indonesia.

“Faktor penyebab langsung gizi buruk dan stunting antara lain,  asupan gizi,  wasting lahir kurang dari 250 gr,  proporsi badan kurang dari 48 cm sehingga mengakibatkan kemampuan otak yang tidak mumpuni,” kata Doddy.

Doddy yakin persoalan gizi bisa diatasi, jika semua elemen terlibat di dalamnya. Ke depan, pemerintah juga akan membuat program satu ahli gizi di setiap desa. “Pemerintah harus berinvestasi untuk perbaikan status gizi penduduk. Undang-undang yang menguatkan kebijakan itu,” kata dia.

(Kopmas- Enisa)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *