JakartaKoalisi Perlindungan Kesehatan Masyarakat (Kopmas) mendukung penuh program tenaga ahli gizi di satu desa.  Sebab masyarakat sangat membutuhkan pendamping untuk meningkatkan pengetahuan mereka terkait nutrisi dan  gizi  sekaligus mendata status gizi di masyarakat secara by name by address

Ketua Kopmas Arif Hidayat menyatakan hal itu usai diskusi mengenai gizi buruk di kantor LBH 29 Januari 2019. Sebelumnya diberitakan bahwa Kementerian Kesehatan berencana membuat program penempatan tenaga ahli kesehatan di setiap desa.

Menurut Arif, persoalan kurang gizi, gizi buruk, hingga penyakit penyerta yang diakibatkan oleh masalah gizi harus dituntaskan dari akarnya. Tenaga ahli gizi harus diturunkan langsung ke desa-desa pelosok, bahkan ke pemukiman padat di perkotaan.

“Sehingga warga punya tempat bertanya dan petugas ahli gizi juga bisa mencatat status gizi masyarakat sebagai data yang valid,” kata Arif.

Wakil Ketua Bidang Advokasi Kopmas Yuli Supriati menambahkan, persoalan gizi bukan sekardar kurangnya pemahaman masyarakat terkait masalah gizi dan nutrisi, tapi juga akibat kemiskinan yang menjeratnya. Mereka tak mampu membeli susu untuk anaknya. “Sehingga Susu Kental Manis selalu menjadi pilihan, karena murah, tapi berdampak pada buruknya kesehatan bayi mereka,” ujarnya.

Sementara itu, Direktur Gizi Masyarakat Kemenkes  Doddy Izwardi menyatakan bahwa pemerintah ke depan akan menurunkan tenaga ahli gizi ke desa-desa. Tujuannya selain, selain sebagai ujung tombak perbaikan gizi , juga bertugas untuk mengedukasi masyarakat terkait pentingnya masalah gizi dan nutrisi bagi anak.

Tak hanya itu, lanjut Doddy,  ahli gizi ini juga dapat melaksanakan survailans status gizi untuk didapatkan data yang tepat. Kementerian Kesehatan sudah memiliki data lengkap terkait gizi buruk, by name, by address.

Menanggapi rencana pemerintah, Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf Macan Effendy  menyatakan, mendukung penuh  program ahli gizi ditempatkan di satu desa. Menurut dia, masalah gizi sudah luar biasa dan harus menjadi kepentingan bersama untuk menyelesaikannya.

“Kementerian Kesehatan harus mengalokasikan anggaran untuk menempatkan satu ahli gizi di desa. Agar ke depan, masalah-masalah gizi dapat diintervensi sebelum menjadi gizi buruk,” kata Dede yang tidak bisa hadir dalam diskusi, tapi bisa menyampaikan gagasannya melalui video call . Saat itu Dede sedang melakukan kunjungan kerja ke Gresik, Jawa Timur.

Sementara itu Ketua Umum PP Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini Indonesia (Himpaudi) Netti Herawati yang menjadi panelis dalam diskusi ini mengungkapan, bahwa persoalan gizi sudah mencuat  sejak 1989. Namun hingga kini data soal gizi kurang atau gizi buruk belum menjadi sebuah gerakan, satu data gizi untuk semua orang.

“Jika data sudah menjadi milik semua orang, saya yakin semua orang menjadi aware untuk menolong penderita gizi kurang maupun gizi buruk,” kata dia.

Pengalamannya saat bersama para kader  posyandu yang melakukan penimbangan, kata Netti, sangat  menyentuh hati nurani. Betapa tidak, mereka membuat data fiktif karena angka gizi kurang bertambah terus.

Organisasinya, kata Netti,  melakukan penimbangan sendiri terhadap para balita itu. Hasilnya data itu jauh berbeda dengan data dari pemantau status gizi. Ditemukan sebanyak 40 % anak gizi kurang di suatu tempat.

“Apakah itu aib yang harus ditutupi, sehingga yang dibuat data fiktif? Negara masih main-main di data, tapi tidak berani mengekspos, buat apa? Persoalan gizi adalah persoalan bersama, kita semua harus bergerak,” ucap  Netti. (Kopmas- Enisa)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *