Satu-satu, mereka layu, lumpuh, tak berdaya. Matanya nanar, redup, tanpa cahaya. Mungkinkah mereka bisa menatap masa depan?
Persoalan gizi kurang dan gizi buruk pada bayi dan balita masih menjadi PR besar bangsa ini. Pemerintah sudah melakukan berbagai cara untuk menanganinya, namun persoalan ini tak jua berakhir. Menurunkan angka penderita gizi kurang dan gizi buruk saja sudah bagus. Tapi, tetap saja ini menjadi keprihatinan negeri ini. Apalagi pada awal 2018, 72 anak di Asmat Papua meninggal karena gizi buruk dan campak. Indonesia bagian timur berduka, anak-anak di NTT juga mengalami hal yang sama.
Mereka yang jauh dari pusat kekuasaan sudah menampar kita, betapa persoalan gizi buruk bisa membuat generasi hilang atau lost generation. Jika di luar Jawa, persoalan gizi buruk begitu komplek. bagaimana dengan di anak-anak di Jawa yang notabene mereka tinggal di wilayah yang infrastrukturnya sudah terbangun?
Karena itu, Tim Koalisi Perlidungan Kesehatan (kopmas) blusukan ke 6 kota/kabupaten yang lokasinya dekat dengan pusat kekuasaan. Yakni Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung , Kabupaten Indramayu , dan Kabupaten Cirebon, Pandeglang Banten, hingga Malang, Jawa Timur pada 14- 19 Januari 2019.
Kami datang ke rumah-rumah penderita anak gizi buruk dan anak-anak malang yang kurang beruntung. Rumah mereka berada di desa-desa pelosok hingga rumah-rumah semi permanen di perkotaan di Kawasan kumuh.
Sebelum sampai ke sana, tim dari Jakarta berkoordinasi dengan tim relawan Kopmas di daerah. Mereka menggali data terlebih dahulu ke desa-desa sasaran. Begitu data didapat, meluncurlah tim Kopmas dari Jakarta ke TKP. Begitu kami menemui mereka, ternyata, bukan hanya persoalan ketidaktahuan orang tua mengenai nutrisi, tapi juga masalah ekonomi ikut serta memperparah kondisi anakgizi kurang, gizi buruk, hingga muncul penyakit penyerta lainnya.
Bahkan mereka juga terkendala akses rumah sakit, karena tak punya BPJS. Ada yang menawarkan jasa untuk mengurus BPJS-nya, tapi para calo ini pasang tarif tinggi. Karenanya, banyak diantara mereka menolak bikin BPJS karena jasa pembuatan melalui calo dinilainya terlalu mahal. Jangankan buat ngurus BPJS, buat beli susu dan makan anaknya saja mereka sangat kebingungan.
Ada juga yang punya KIS (Kartu Indonesia Sehat). Tapi pas mau dipakai karena sakit, KIS itu tidak berlaku lagi. Satu keluarga pemilik KIS ini diminta untuk bikin BPJS sendiri. Tentu saja, keluarga miskin ini bingung. Bagaimana ia bayar iuran tiap bulannya, jika kemiskinan menderanya.
Pasrah, itulah yang lebih banyak dilakukan oleh mereka. Mengobati anak sakit dengan ramuan herbal, ke dukun menjadi solusi bagi mereka. Herbal mudah di dapat di sekitar rumah. Sementara dukun, tak memasang tarif tinggi, hanya salam tempel seikhlasnya. Tapi apakah anaknya sembuh? Tidak, justru bertambah parah dan penyakit penyerta lainnya mulai menyerang.
Apakah anak-anak ini tidak tersentuh kader Posyandu? Mereka datang ke tempat penimbangan sebulan sekali. Saat berat badan anak-anak ini di bawah garis merah, mereka diberi makanan tambahan. Tapi apakah makanan tambahannya dimakan? “Tidak, dalam kondisi sakit, mana doyan anak makan,” kata Syamsul Irfani (34), ayah penderita gizi kurang Aisilah (6 bulan).
Bagaimana profil anak-anak ini, yuk kita simak dalam tulisan berseri Lost Generation. (Kopmas- Enisa)