Hampir satu abad, Susu Kental Manis (SKM) diiklankan di media cetak, kemudian merambah ke televisi sebagai produk susu, dianjurkan untuk diminum. Bahkan SKM disebut sangat baik dikonsumsi anak karena mengandung gizi, nutrisi serta zat yang bermanfaat bagi tulang.

Produk SKM pertama kali masuk ke Indonesia pada 1922. Artinya sudah 96 tahun iklan SKM tersebut melekat kuat dalam ingatan ibu-ibu rumah tangga di Indonesia. Memori itulah yang kemudian membuat salah kaprah persepsi ibu-ibu tentang SKM sebagai susu.

Mari kita lihat cuplikan beberapa iklan berikut ini. Pada 2006, produsen SKM menayangkan iklan yang menampilkan satu keluarga dengan dua anak yang tengah menikmati SKM. Tagline-nya, dicolek boleh, dioles boleh, diminum boleh, yang penting enak.

Lalu pada Mei 2009, iklan SKM menampilkan seorang ayah yang tengah menemani anaknya membaca. Saat anaknya mengeluh capek, si ibu menyahut, “SKM dong, memberimu gizi, nutrisi, dan tulang yang kuat.” Lalu si anak dan ayahnya minum SKM yang disiapkan sang ibu. Selanjutnya si anak digambarkan bermain drum dengan penuh semangat, seolah terkena ‘efek’ SKM.

Yang masih agak “baru”, pada Februari 2017, iklan SKM menampilkan seorang anak perempuan tengah bermain bersama teman-temannya. Ia melihat jam tangan lalu meninggalkan teman-temannya. Di frame berbeda, seorang anak laki-laki tengah bermain bola, kemudian mencetak goal. Ia lalu berlari meninggalkan teman-temannya. Gambar berikutnya, seorang ayah yang sedang memancing, buru-buru pulang setelah melihat jam tangannya.

Setibanya mereka di rumah, seorang ibu menyambutnya dengan minuman SKM. Mereka pun berkumpul di meja makan dengan senyum bahagia menikmati kudapan dan empat gelas SKM.

Iklan – iklan tadi telah terekam dalam memori keluarga Indonesia. Apa boleh buat, gencarnya penayangan iklan tadi membentuk persepsi di masyarakat, terutama ibu-ibu rumah tangga, bahwa SKM baik dikonsumsi anak. SKM dianggap sebagai susu.

Dan, persepsi yang keliru itu berdampak buruk. Pada Februari 2018, di Kendari Sulawesi Tenggara, seorang bayi, Arisandi (10 bulan), menderita gizi buruk, meninggal dunia.

Ibu bayi itu bercerita, sebelumnya ia selalu memberi SKM kepada anaknya sebagai pengganti air susu ibu (ASI). Alasannya, SKM adalah susu yang baik bagi bayi gampang didapat diwarung dan harganya terjangkau.

Masih di Kendari, seorang bayi, juga mengalami gizi buruk dan harus di rawat di rumah sakit. menurut pengakuan ibunya, selepas usia empat bulan, bayi itu selalu diberi minum SKM. Perempuan itu tidak tahu SKM tidak cocok untuk bayi. Mereka berfikr SKM adalah susu.

Begitulah dahsyatnya kekuatan iklan. Iklan yang yang ditayangkan berulang –ulang mampu menggiring opini dan perilaku penonton. Bukankah jutaan ibu –ibu rumah tangga Indonesia terlanjur yakin SKM adalah susu yang baik dikonsumsi anak?

Faktanya? Pada diskusi di LBH Jakarta awal November ini, Ketua UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dokter Damayanti Rusli Sjarif mengungkapkan komposisi kandungan SKM yang beredar di Indonesia. Kandungan susu dalam satu saji SKM ternyata hanya 1 gram atau sebesar 2 persen Kilo kalori per sajian. Sementra kandungan gulanya lebih dari 50 persen.

Padahal, standar WHO dalam satu saji SKM, setidaknya mengandung 6,9 persen Kilo kalori (kkal) protein dan kandungan gula maksimal 20 persen.

Menurut Damayanti, SKM yang beredar di Indonesia lebih pas disebut sebagai krim kental manis, cocok sebagai topping makanan atau minuman. Tidak boleh disajikan secara tunggal, diminum, sepertipesan dalam iklan atau petunjuk pada kemasan.

Itulah yang disebut “nilai tambah” dalam iklan, yang kadang tidak sesuai bahkan cenderung hiperbolik.

Untuk menghindari salah kaprah tentang SKM semakin parah, pada 22 Mei 2018 Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengeluarkan surat edaran terkait label dan iklan.

Dalam surat edarat ini produsen SKM antara lain dilarang menampilkan anak dibawah lima tahun serta menampilkan gambra susu cair dalam gelas pada iklannya.

Pada 19 Oktober 2019, BPOM menerbitkan Peraturan Kepala (Perka) BPOM No. 31 Tahun 2018, Tentang Label Olahan Pangan. Isinya antara lain mengenai sanksi bagi produsen SKM yang mencantumkan label pada kemasan, yang tak seuai aturan.

Namun bagi Pratiwi Febry, pengacara public Lembaga Banyan Hukum (LBH) Jakarta, Perka BPOM tersebut tidak berdampak signifikan terhadap peredaran dan penggunaan SKM pada masyarakat. Karena dari banyak pasal larangan, hanya satu pasal yang mengatur masalah sanksi administratif. Pratiwi menyebut peraturan itu ibarat macan kertas.

Lepas dari segala polemik tentang iklan SKM, selayaknya produsen SKM tampil ke depan mengedukasi masyarakat. Mereka membuat iklan baru, yang jujur, tidak mengelabui, tidak menyesatkan.

Penulis: Eni Saeni, Sekjen Kopmas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *