Kopmas, Lombok – Wajahnya terlihat seperti orang tua, padahal usianya masih sangat belia, 9 tahun. Badannya sangat kurus, nyaris seluruh tulang belulang di tubuhnya tampak menonjol. Kulit yang menempel, bak pembungkus tulang. Lekukan tulang iga, tulang punggung, dengkul, hingga tulang kakinya terlihat jelas. Tubuhnya rapuh, layu , lunglai tak berdaya. Jangankan untuk berdiri, duduk saja Raudatul Jannah ini tak mampu.

Jannah, sapaan bocah yatim piatu ini menderita Marasmus Kwashiorkor, penyakit malnutrisi. Berat badannya sulit untuk naik, hanya 4 kilogram. Selama ini bocah tak berdaya ini dirawat oleh kerabatnya di Kampung Tanaq Betian Desa Bebidas, Kecamatan Wanasaba, Lombok Timur-NTB.Ketua Aliansi Pemberdayaan Perempuan Sumbawa Barat (AP2SB) Yuni Bourhany mengungkapkan, kasus tersebut terungkap setelah LSM di Lombok Timur menemukan dan melaporkannya ke Dinas Kesehatan setempat. “Hari ini baru dilakukan pendampingan signifikan. Pemerintah mulai turun tangan membawa anak ini ke RS,” kata dia.
Sebelum Jannah ditemukan oleh LSM, keluarganya pernah membawa dia ke Rumah Sakit, tapi karena tidak ada perubahan signifikan, Jannah dibawa pulang ke rumah. Yuni menilai sikap pemerintah yang tidak proaktif terkait masalah-masalah kesehatan masyarakat. Mereka bertindak setelah ada laporan. Padahal, tindakan pencegahan seharusnya juga dilakukan
“Upaya pencegahannya kurang maksimal. Padahal, di saat Indonesia sudah merdeka, tidak lagi rawan pangan, miris kasus Marasmus masih terjadi di sekitar kita,” kata Yuni saat dihubungi Kopmas via handphone.
Yuni mengaku kecewa dengan upaya pemerintah yang tidak greget menyikapi masalah gizi buruk dan Marasmus. Hal itu dirasakan saat ia mendampingi seorang balita usia satu tahun dengan berat badan hanya berat 5,2 kg, di Sumbawa Barat, Dinas Kesehatan setempat hanya memberikan satu kaleng susu selama beberapa bulan kepada anak tersebut.
“Nggak masuk akal kan, naikin berat badan dengan satu kaleng susu untuk beberapa bulan. Kesadaran untuk mendampingi dengan tulus tidak ada,” ucap Yuni.

Data Dinas Kesehatan NTB, kasus stunting mencapai 37,2 persen pada 2017 lalu. Dengan kasus sebanyak ini, termasuk katagori buruk. Dari 10 kabupaten/kota di NTB, kasus stunting paling banyak ditemukan di Kabupaten Sumbawa mencapai 41,8 persen.
Disusul Lombok Tengah dengan jumlah 39,1 persen, Dompu 38,3 persen, Lombok Utara dan Kota Mataram masing-masing 37,6 persen dan 37,5 persen. Selanjutnya, Bima 36,7 persen, Kota Bima 36,3 persen, Lombok Barat 36,1 persen, Lombok Timur dan Sumbawa Barat masing-masing 35,1 persen dan 32,6 persen.
Pemerintah berupaya menurunkan angka gizi buruk. Namun wilayah-wilayah yang menjadi kantong kemiskinan perlu diwaspadai. Sebab di wilayah miskin inilah gizi buruk dan marasmus kwarshiorkor mengancam anak-anak kita.
(Enisa)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *