Dia tengkurap saat kami datang. Senyumnya mengembang, matanya bungah menyambut kami. Tubuhnya berguling-guling di lantai menjauhi banyal kumal di sampingnya. Sang Ibu dengan tergopoh-gopoh menghampiri anaknya yang lari dari arah dapur.
Bocah itu diraihnya dalam pangkuan. Si anak tampak gembira, lehernya dipalingkan ke kanan dan ke kiri melihat orang-orang yang tiba-tiba membuat suasana rumahnya jadi ramai di Desa Gebang, Kabupaten Cirebon, pada Jumat siang, 18 Januari 2019.
Dialah Nur Aisyah, 16 tahun. Di usia remaja itu, Aisyah tak duduk apalagi berdiri. Jalannya hanya ngesot, komunikasinya dengan bahasa verbal. Ia hanya bisa bersuara dengan mengeluarkan jeritan. Kalau dia minta makan, tangannya ditempelkan di mulutnya. Kalau ibunya lagi keluar rumah, dan ia lapar, kadang-kadang Aisyah berguling-guling ke dapur mengambil makanan sendiri.
Marini, 42 tahun Ibunda Aisyah bercerita tentang asal usul kenapa anaknya sakit seperti itu kepada Tim Kopmas (Koalisi Kesehatan Masyarakat). Dia sakit sejak usia 4 bulan karena panas tinggi. Serangan panas tinggi tak hanya sekali, tapi sering. Karena sering sakit, pertumbuhannya lambat. “Informasi dari dokter, Aisyah gizi buruk,” kata Marini dengan nada rendah sambil menarik nafas panjang dan matanya berkaca-kaca.
Tak hanya serangan demam tinggi, Aisyah pun mulai kejang-kejang. Ketika sakitnya bertambah parah, pada usia 3 tahun, Aisyah dibawa ke rumah sakit. Ia dirawat selama 10 hari. “Tapi syarafnya kata dokter sudah kena, pengobatannya bisa lama,” ujar Marini. Tak kuat dengan ongkos rumah sakit, Marini membawa anaknya untuk dirawat di rumah.
Menurut dia,, seharusnya Aisyah menjalani fisioterapi seminggu 2 kali, tapi itu tak dilakukan. Ia terkendala ongkos dari rumah ke rumah sakit yang jarak cukup jauh. “Sekarang Aisyah di rumah aja, saya repot bawa dia ke RS,” kata Marini.
Semoga pemerintah setempat bisa memberikan pertolonga buat anak-anak seperti Aiysah.
(Kopmas- Enisa)